13 April 2009

Sebuah Perjuangan Rakyat

Oleh SUKARDI RINAKIT

Riwayat Center-Sekitar dua jam saya ikut antre untuk mencontreng. Sambil menunggu giliran, saya sempatkan telepon emak di kampung. Sekadar mengingatkan agar tidak lupa ke TPS meskipun harus jalan pelan-pelan. Di akhir pembicaraan, emak berpesan, ”Kamu jangan ndompleng kamukten, apalagi untuk kekuasaan.”

Sejak reformasi lalu, pesan emak sama, yaitu dalam hidup tidak boleh sekadar ndompleng kamukten (mendompleng kemuliaan). Kalau ingin mendapatkan jabatan, harta, popularitas, dan kebaikan hidup yang lain, maka harus berkeringat. Tak boleh naik di tikungan. Khusus soal harta benda, jika belum bisa mandiri, anggap saja pinjaman. Pada saatnya harus dikembalikan.

Dalam kehidupan politik, pesan seperti itu bisa diangkat dalam spektrum luas. Kesabaran dan ketulusan rakyat untuk antre di tengah keburukan infrastruktur dan suprastruktur pemilu harus dihargai sebagai sebuah perjuangan rakyat. Para politisi, baik yang santun maupun yang angkuh, harus menghargai perjuangan rakyat tersebut.

Keseimbangan koalisi

Langkah awal untuk menghargai perjuangan rakyat itu adalah partai konsisten dengan sikap politiknya, terutama yang sudah ditampilkan dalam bulan-bulan terakhir menjelang pemilu legislatif. Partai yang tidak konsisten sejatinya hanya ”mendompleng kemuliaan” pihak lain. Mungkin bisa juga disebut sebagai penumpang gratis (free rider).

Pendeknya, terlepas dari kemungkinan pengaruh ideologi dan insentif dalam bentuk apa pun, pilihan rakyat pada suatu partai politik sebagiannya karena sikap partai dalam beberapa bulan terakhir—dan cara pikir rakyat biasanya sederhana.

Orang memilih Partai Demokrat (PD), misalnya, karena berharap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berlanjut. Orang mencontreng PKS dan PKB karena kedua partai ini mendukung kabinet pelangi SBY.

Sebaliknya, orang mencontreng Gerindra, kendati masih partai baru, karena gencarnya iklannya yang populis membela petani di pedesaan dan para pedagang pasar tradisional. Sedangkan pilihan ke Partai Hanura karena Wiranto pernah mengkritik pemerintahan SBY gagal memberantas kemiskinan. Begitu pula para pemilih PDI-P bersetia pada partai tersebut karena sikap oposisinya terhadap pemerintahan SBY. Para pemilih Partai Golkar yang tersisa mungkin ingin mempertahankan eksistensinya sebagai partai besar yang tidak ingin dihina oleh partai lain terutama PD. Manuver para elite Golkar yang mendaulat Jusuf Kalla agar berani mencalonkan diri sebagai presiden terasa terlambat dan gagal mengangkat pamor partai beringin ini.

Oleh sebab itu, jika para politisi menghargai pilihan rakyat dan berkehendak mentransformasi pilihan tersebut dalam sebuah kerja politik, maka koalisi yang akan mereka bangun idealnya bermuara pada dua sungai politik. Sungai pertama adalah pertemuan antara PD, PKS, dan PKB. Kumulasi perolehan suara mereka sekitar 36 persen. Adapun sungai kedua adalah PDI-P, Golkar, Gerindra, dan Hanura. Total perolehan kekuatan keempat partai tersebut juga 36 persen. Tinggal PPP dan PAN, entah mau merapat ke mana.

Kita memang tidak bisa menjamin konsistensi sikap Golkar. Partai yang sepanjang sejarah tidak pernah mau jauh dari lingkaran kekuasaan ini diduga akan segera banting setir bergabung di bawah payung PD. Sementara itu, sikap politik PAN dan PPP sejauh ini masih kabur. Jika pilihan politik mereka ternyata tidak didasarkan pada spirit perjuangan rakyat, dipastikan kubu PD akan menguasai percaturan politik ke depan.

Hormat saya kepada pimpinan partai yang konsisten dengan sikap politiknya dan saat ini bergerak untuk membentuk koalisi guna membangun oposisi kuat di parlemen. Meskipun menjadi penguasa adalah nikmat, menjadi oposisi juga tidak kalah terhormat. Bahkan mereka bersih dari citra sekadar ndompleng kamukten.

Peluang sempit

Jika politik bergerak linier di mana partai-partai akan berkoalisi sesuai dengan sikap politik mereka, maka oposisi di parlemen akan menjadi kuat. Ini membuat proses checks and balances akan bekerja relatif sempurna. Kubu siapa pun yang menjadi penguasa tidak bisa seenaknya membuat kebijakan, apalagi yang merugikan publik. Ia tidak bisa lagi meloloskan legislasi undang-undang yang kontroversial tanpa konsultasi publik yang tuntas.

Selain itu, manfaat lain konsistensi sikap partai yang menghargai pilihan rakyat adalah membuka pintu kemungkinan sebuah peluang yang sempit. Jika koalisi sungai politik PD, PKS, dan PKB mencalonkan kembali Presiden SBY pada pemilihan presiden nanti, idealnya, PDI-P, Golkar, Gerindra, dan Hanura bersatu. Dengan begitu, ada keseimbangan kekuatan politik. Tapi jika Golkar tetap terjebak pada kultur politiknya selama ini, yaitu menempel pada lingkaran kekuasaan, maka keseimbangan politik yang diharapkan akan sulit terwujud.

Dalam konstruksi pembelahan politik seperti itu, koalisi yang dipimpin PDI-P dituntut untuk melakukan evaluasi mendasar, memupus ego, dan berpikir bening. Tanpa langkah itu, tidak akan terjadi kejutan politik karena tidak ada dukungan energi semesta.

Dalam teori dan praksis pergerakan, jika ideologi dan ide perubahan mati, maka hanya ada dua agen yang bisa membalik sejarah dan membunuh citra (popularitas), yaitu tokoh muda yang berkarakter dan figur karismatik. Salah satu dari merekalah yang bisa menggerakkan alam bawah sadar rakyat. Tapi figur itu harus tidak berasal dari lingkaran dalam koalisi. Ini kalau kubu PDI-P ingin merebut kembali peluang sempit pada pemilu presiden nanti.

Jika mereka keberatan dengan langkah tersebut, pemilu presiden sebenarnya tidak lebih hanya sekadar formalitas demokrasi. Presiden SBY pasti akan terpilih kembali.

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

No comments:

Post a Comment